Bismillahirahmanirrahim

Posted: 2 Maret 2011 in Uncategorized

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Innalhamdalillahi nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu
Segala puji bagi Allah yang hanya kepadaNya kami memuji, memohon pertolongan, dan ampunan
Wana’udzubiillah minsyurruri ‘anfusinaa waminsayyi’ati ‘amaalinnaa
Kami berlindung kepadaNya dari kekejian diri dan kejahatan amalan kami.
Man yahdi hillah falah mudhi llalah
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkan
Wa man yudhlil falaa haadiyalah
dan barang siapa yang tersesat dari jalanNya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
wa-asy-hadu allaa ilaaha illallaahu wah-dahu laa syariikalah
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi hanya Allah saja yang tiada sekutu bagiNya.
wa-asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan dan RasulNya

Bukan kultum tapi Sharrtum…..

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat…Al Hujurat 49 ;10

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya. Sekiranya mereka mengetahui. Al Ankabut 64

Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar …Al Anfal 28

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam, ia akkkan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (Al Isra 18)

Wallahu ’alam Bi shawab…
Semoga apa yang di sampaikan bermanfaat…..

Subhanaka Allahuma wabihamdika
“Maha suci engkau. Ya Allah dengam memuji pada mu.

Ashaduanla ilah ilaanta
Aku bersaksi bahwa tidak tuhan kecuali engkau.

astagfiruka waatubu ilaik
Aku mohon pengampunan pada-Mu dan aku taubat pada-Mu

Aqiqah__

Posted: 20 Januari 2011 in Uncategorized

Ada 2 (dua) pendapat fuqaha dalam masalah aqiqah setelah dewasa (baligh). Pertama, pendapat beberapa tabi’in, yaitu ‘Atha`, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ibnu Sirin, juga pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Qaffal asy-Syasyi (mazhab Syafi’i), dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan (mustahab) mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Dalilnya adalah hadis riwayat Anas RA bahwa Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai nabi). (HR Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Ausath no 1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no 883).

<!--next-->

Kedua, pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain itu, hadis Anas RA yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil. (Hisamuddin ‘Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-’Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-’Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44).

Dari penjelasan di atas, nampak sumber perbedaan pendapat yang utama adalah perbedaan penilaian terhadap hadis Anas RA. Sebagian ulama melemahkan hadis tersebut, seperti Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari, 12/12), Imam Ibnu Abdil Barr (Al-Istidzkar, 15/376), Imam Dzahabi (Mizan Al-I’tidal, 2/500), Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (Tuhfatul Wadud, hlm. 88), dan Imam Nawawi (Al-Majmu’, 8/432). Imam Nawawi berkata,”Hadis ini hadis batil,” karena menurut beliau di antara periwayat hadisnya terdapat Abdullah bin Muharrir yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu’, 8/432).

Namun, Nashiruddin Al-Albani telah meneliti ulang hadis tersebut dan menilainya sebagai hadis sahih. (As-Silsilah al-Shahihah, no 2726). Menurut Al-Albani, hadis Anas RA ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan). Pertama, dari Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas RA. Jalur inilah yang dinilai lemah karena ada Abdullah bin Muharrir. Kedua, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas RA. Jalur kedua ini oleh Al-Albani dianggap jalur periwayatan yang baik (isnaduhu hasan), sejalan dengan penilaian Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/59).

Terkait penilaian sanad hadis, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu sanad dari suatu hadis, tidak berarti hadis itu lemah secara mutlak. Sebab bisa jadi hadis itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadis menyatakan hadis itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).

Berdasarkan ini, kami cenderung pada pendapat pertama, yaitu orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Sebab dalil yang mendasarinya (hadis Anas RA), merupakan hadis sahih, mengingat ada jalur periwayatan lain yang sahih. Wallahu a’lam.

Makan dan minum setelah berwudhu tidak membatalkan wudhu kecuali jika seseorang setelah wudhu makan daging onta, baik yang dipanggang maupun dimasak dengan cara lainnya, maka menurut sebagian ulama hal ini membatalkan wudhunya. (lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal Sayyid Salim 1/138). Pendapat ini dikuatkan pula oleh Imam Nawawi sebagaimana disebutkan dalam Syarah Shahih Muslim (1/328). Dan merupakan pendapat Imam Ahmad, Imam Ibnu Hazm dan juga Imam Ibnu Taimiyah.

 

Adapun dalil yang dipakai oleh para ulama yang mengkatagorikan batal wudhu seseorang yang makan daging onta adalah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».

“Dari Jabir bin Samurah bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam: “Apakah aku mesti berwudhu karena makan daging kambing? Beliau menjawab: “Jika engkau mau maka wudhulah, namun jika tidak maka tidak mengapa.” Ia bertanya (lagi); “Apakah aku mesti berwudhu jika makan daging onta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah jika engkau makan daging onta.” (HR. Muslim No 828)

Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « تَوَضَّئُوا مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ وَلاَ تَوَضَّئُوا مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ وَتَوَضَّئُوا مِنْ أَلْبَانِ الإِبِلِ وَلاَ تَوَضَّئُوا مِنْ أَلْبَانِ الْغَنَمِ

“Dari Abdullah bin Umar ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Berwudhulah kalian lantaran kalian makan daging onta dan kalian tidak perlu berwudhu lantaran kalian makan daging kambing. Berwudhulah kalian lantaran kalian minum susu onta dan kalian tidak perlu berwudhu lantaran kalian minum susu kambing.” (HR. Ibnu Majah No : 536)

Namun menurut jumhur ulama, Abu Hanifah, Malik, Asy Syafii dan Ats Tsauri memakan daging onta itu tidak membatalkan wudhu. Mereka berdalil dengan hadits berikut:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ

“Dari Muhammad bin Munkadir ia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata: “Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang disentuh api.” (HR. Nasai No 185 dan dishahihkan oleh Syeikh Albani)

Wallahu a’lam bish showab.

http://dialogimani.wordpress.com

“search Engine”

Posted: 17 Desember 2010 in Uncategorized

Script :

<form id=”searchform” action=”https://bphn4amien.wordpress.com/search&#8221; name=”searchform” method=”get”>
<input id=”s” value=”” name=”q” type=”text”> <input id=”searchsubmit” value=”cari” type=”submit”> </form>

Rasulullah saw. bersabda:
Allah Taala berfirman:
Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku.
Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, m aka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku.
Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk   yang lebih baik dari mereka.
Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta.
Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa.
Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., (Shahih Muslim No.4832):

Doa Qomat

Posted: 9 Desember 2010 in Uncategorized

أَََقَامَهَا الله وَأَدَامَهَا
AQOOMAHALLOHU WA ADAAMAHA
semoga Alloh tetap (memberikan kekuatan kepada kami untuk bisa) menegakkan sholat dan melanggengkannya
مَادَامَتِ السَمَاوَاتُ وَالأرْضُ
MAADAAMATIS-SAMAAWAATU WAL-ARDLU
Selama langit dan bumi (masih langgeng/ada)

Berikut adalah bantahan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah terhadap pendapat yang menyatakan bahwa bersedekap setelah ruku’ adalah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh kalangan salaf terdahulu. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah mengatakan:

Apabila ada yang mengatakan: “Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani telah menyebutkan dalam hasyiah (catatan tepi atau footnote) Kitab beliau “Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” halaman 145 cet. Keenam yang bunyinya sebagai berikut:

“Dan aku tidak ragu lagi, bahwa meletakkan kedua tangan di atas dada dalam posisi berdiri tersebut (yakni berdiri setelah bangkit dari kuku’) merupakan bid’ah yang sesat. Sebab sama sekali tidak terdapat dalam satu hadits pun dari hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat, dan betapa banyak hadits-hadits dalam permasalahan shalat. Kalau seandainya hal tersebut memiliki asal (dalil) niscaya akan dinukilkan kepada kita, meskipun hanya melalui satu jalan. Dikuatkan lagi bahwa tidak ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukannya dan tidak pula disebutkan oleh salah seorang imam ahlul hadits sepanjang pengetahuanku.”

Jawaban dari hal tersebut dengan mengatakan: “Ya, memang benar saudara kami Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin telah menyebutkan dalam hasyiah kitabnya tersebut, pernyataan sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Dan hal itu bisa dijawab dengan beberapa segi:

1. Pernyataan beliau yang memastikan bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri setelah ruku’ adalah bid’ah yang sesat, merupakan kesalahan yang sangat jelas, tidak ada seorangpun dari kalangan ahlul ilmi yang mendahuluinya. Demikian juga hal itu menyelisihi hadits-hadits shahih yang telah disebutkan di muka. Saya tidak meragukan keilmuan, keutamaan dan keluasan beliau dalam menelaah serta perhatian beliau terhadap As-Sunnah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah ilmu dan taufik kepada beliau. Akan tetapi beliau telah salah dalam permasalahan ini dengan kesalahan yang sangat jelas. Setiap orang yang alim bisa dipegang dan ditinggalkan pendapatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah ada di antara kami, melainkan bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kuburan ini.” Yakni: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula yang dikatakan oleh ahlul ilmi sebelum dan sesudah beliau. Dan bukan hal itu berarti mengurangi penghormatan kepada mereka atau menjatuhkan kedudukan mereka, bahkan dalam hal tersebut mereka memperoleh antara satu dan dua pahala. Sebagaimana hal ini shahih ditunjukkan oleh As-Sunnah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal hukum mujtahid (orang yang berijtihad):

“Apabila benar, dia mendapat dua pahala dan apabila salah, dia mendapat satu pahala.” [Al-Bukhari (6919), Muslim (1716), Abu Dawud (3574), Ibnu Majah (2314) dan Ahmad (4/204)]

2. Orang yang memperhatikan hadits-hadits yang telah berlalu (hadits Sahl, hadits Wail dan yang lainnya [1]), maka akan nampak jelas baginya bahwa hadits tersebut menunjukkan akan disyariatkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri dalam shalat sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Sebab tidak disebutkan perincian di dalamnya, dan memang pada asalnya tidak ada perincian tersebut.

Dikarenakan juga, di dalam hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu terdapat perintah untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri ketika shalat dan tidak dijelaskan tempat (posisi)-nya dalam shalat. Apabila kita memperhatikan dengan seksama hadits-hadits dalam permasalahan ini, maka akan nampak jelas bagi kita bahwa yang sunnah dalam shalat adalah meletakkan kedua tangan pada kedua lutut ketika ruku’. Dalam keadaan sujud meletakkannya ke tanah dan ketika duduk meletakkan keduanya di atas kedua paha dan lutut. Sehingga tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Maka diketahuilah bahwa hal itulah yang dimaksud oleh hadits Sahl. Ini sangat jelas sekali.

Adapun hadits Wail, di dalamnya terdapat penegasasan dari Wail radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan ketika berdiri dalam shalat. Hadits ini dikeluarkan oleh An-Nasa’i (887) dengan sanad shahih. Lafadz yang berasal dari Wail radhiyallahu ‘anhu ini mencakup kedua posisi berdiri tersebut tanpa diragukan lagi. Barangsiapa yang membedakan antara keduanya maka hendaknya mendatangkan dalil. Hal ini telah diisyaratkan pada awal pembahasan.

3. Bahwa para ulama menyebutkan: Di antara hikmah dalam meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hal tersebut lebih dekat dengan sifat khusyu’ dan tunduk serta jauh dari sikap main-main, sebagaimana yang telah berlalu dalam ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sikap yang seperti itulah yang dituntut bagi setiap orang yang shalat sebelum ruku’ dan sesudahnya. Maka tidak boleh membedakan antara dua posisi tersebut kecuali dengan dalil yang tsabit (shahih) yang wajib untuk dipegangi.

Adapun ucapan saudara kita Al-’Allamah: “… Bahwa hal tersebut sama sekali tidak terdapat dalam satu hadits pun dari hadits-hadits yang berkenaan dengan shalat, dan betapa banyak hadits-hadits dalam permasalahan shalat. Kalau seandainya hal tersebut memiliki asal (dalil) niscaya akan dinukilkan sampai kepada kita, meskipun hanya melalui satu jalan.”

Maka jawabnya: “Bukan seperti itu, bahkan sebaliknya, telah warid riwayat yang menunjukkan atas hal ini dari hadits Sahl, Wail dan yang lainnya, sebagaimana yang telag berlalu penjelasannya. Dan bagi orang yang mengecualikan posisi berdiri setelah rukuk dari makna yang ditunjukkan oleh hadits-hadits tersebut wajib untuk mendatangkan dalil yang shahih dan jelas menunjukkan hal itu.

Adapun ucapan beliau -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik kepadanya-: “Dikuatkan lagi bahwa tidak ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukannya dan tidak pula disebutkan oleh salah seorang imam ahlul hadits sepanjang pengetahuanku.”

Maka jawabannya dengan mengatakan: Ini sangat aneh sekali. Apa yang menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang melakukannya? Bahkan yang benar: bahwasanya hal itu merupakan dalil yang menunjukkan bahwa dahulu mereka bersedekap ketika berdiri setelah ruku’. Kalau seandainya mereka melakukan hal yang berseberangan dengan hal ini niscaya akan dinukil. Sebab hadits-hadits yang telah lalu terdahulu menunjukkan disyariatkannya bersedekap ketika berdiri dalam shalat, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Dan inilah makna yang ditunjukkan oleh judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah yang telah disebutkan dalam awal pembahasan masalah ini. Sebagaimana juga hal itu, makna yang ditunjukkan oleh ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan judul yang dibuat oleh Imam Al-Bukhari tersebut. Kalau seandainya ada salah seorang dari ulama salaf yang melakukan sebaliknya niscaya akan dinukilkan sampai kepada kita. Yang lebih jelas lagi, tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau menjulurkan kedua tangan ketika berdiri setelah ruku’. Kalau seandainya beliau melakukannya niscaya akan dinukil sampai kepada kita sebagaimana para shahabat menukil ucapan dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya. Dan telah berlalu dalam ucapan Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah bahwasanya tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain bersedekap. Dan hal ini disetujui oleh Al-Hafidz dan kita tidak mengetahui pendapat yang berseberangan dari ulama yang lainnya.

Maka jelaslah dengan keterangan yang telah kami sebutkan bahwa apa yang dikatakan oleh saudara kita Fadhilatusy Syaikh Muhammad Nashiruddin dalam masalah ini merupakan hujjah yang membantahnya dan bukan hujjah baginya ketika kita benar-benar memperhatikan dengan seksama, sambil tetap menjaga kaedah-kaedah mutaba’ah yang dipegangi oleh ahlul ilmi. Semoga Allah mengampuni kita dan beliau serta memberikan ampunan dan maaf kepada kita semuanya. Semoga saja setelah menelaah apa yang kami sebutkan ini akan nampak jelas kebenaran bagi beliau, sehingga beliau pun kembali kepadanya. Sebab al-haq adalah bekal yang hilang dari seorang mukmin, kapan saja dia menjumpainya maka dia akan mengambilnya. Apalagi beliau -walhamdulillah- termasuk orang yang membela al-haq, berusaha meraihnya, dan mengorbankan kesungguhannya yang begitu banyak untuk menjelaskan serta menyeru manusia kepada al-haq.

PERINGATAN PENTING

Hendaknya diketahui bahwa pembahasan yang telah berlalu dalam permasalahan bersedekap dengan menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan serta meletakkannya di atas dada atau yang lainnya sebelum ruku’ maupun sesudahnya, semua itu adalah permasalahan sunnah, bukan dari permasalahan-permasalahan yang wajib menurut ahlul ilmi. Kalau seandainya ada seseorang yang shalat dengan menjulurkan tangannya dan tidak bersedekap, baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya, maka shalatnya tetap sah.

Hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang afdhal dalam shalat. Maka, tidak sepantasnya bagi seorang muslim menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ini dan yang semisalnya sebagai wasilah untuk berselisih, saling memboikot dan bercerai-berai. Sebab hal yang seperti itu tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin. Sampai pun kalau seandainya ada yang mengatakan bahwa bersedekap itu wajib sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syaukani dalam “An-Nail” (maka tetap tidak boleh untuk menjadikannya sebagai wasilah untuk saling berselisih, saling memboikot, dan saling bercerai-berai). Bahkan yang wajib bagi kaum muslimin seluruhnya dengan kemampuan dan kesungguhan tersebut untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, menjelaskan al-haq dengan dalil-dalilnya, bersemangat keras untuk mensucikan hati dan menyelamatkannya dari perasaan iri dan dengki kepada sesama kaum muslimin yang lainnya. Sebagaimana pula yang wajib bagi mereka untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan dan saling memboikot. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi kaum muslimin untuk berpegang dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruhnya dan melarang mereka jangan sampai terpecah-belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, …” (Ali Imran: 103)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai bagi kalian tiga hal, yaitu: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bercerai berai, serta kalian menasehati orang yang dikuasakan oleh Allah untuk memimpin urusan kalian (yaitu pemerintah).” [HR. Muslim (1715), Ahmad (2/367), dan Malik (1863)]

Telah sampai berita kepada saya dari mayoritas saudara kita kaum muslimin di Afrika dan negara lainnya bahwasanya telah terjdi di antara mereka kebencian, saling memboikot hanya disebabkan permasalahan bersedekap dan menjulurkan tangan.

Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan kemungkaran yang tidak boleh terjadi pada mereka. Bahkan yang wajib bagi kaum muslimin seluruhnya adalah hendaknya mereka saling nasehat-menasehati dan saling memahamkan dalam mengetahui al-haq disertai dengan dalil-dalilnya dengan tetap menjaga kecintaan, kejernihan hati, dan ukhuwah Islamiyah. Dahulu para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -semoga Allah meridhai mereka semua- dan ulama-ulama setelah mereka berselisih dalam masalah-masalah furu’, namun hal itu tidaklah menyebabkan mereka bercerai-berai dan saling memboikot satu sama lainnya. Sebab tujuan masing-masing adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya. Kapan saja nampak kebenaran itu bagi mereka, mereka bersatu di atas kebenaran tersebut. Dan kapan saja tersembunyi bagi salah seorang di antara mereka, tidak menjadikannya menganggap sesat saudaranya dan tidak pula menyebabkan dia memboikot, memutus hubungan dengannya maupun tidak mau shalat di belakangnya.

Maka wajib bagi kita, seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh Salafush Shalih sebelum kita dalam berpegang dengan al-haq, mendakwahkannya, saling menasehati sesama kita dan bersemangat untuk mengetahui al-haq disertai dalil-dalilnya, dengan tetap menjaga kecintaan dan persaudaraan imaniyyah, tidak saling memutuskan hubungan dan saling memboikot hanya dikarenakan masalah furu’, dimana terkadang masih tersembunyi dalilnya bagi sebagian kita sehingga ijtihadnya membawa dia menyelisihi saudaranya dalam mengambil hukum.

Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang husna (maha indah) dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, semoga menambah hidayah dan taufik kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya, dan semoga Allah memberikan kepada kita kefaqihan dalam memahami agama ini, kekokohan di atasnya, menolong dan mendakwahkannya, sesungguhnya Dia Maha Penolong dan Maha Kuasa atas hal itu. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita, Muhammad beserta keluarga, shahabat dan orang-orang yang mengambil petunjuknya serta mengagungkan sunnahnya hingga datangnya hari Pembalasan.

Catatan kaki:

[1] Hadits-hadits tersebut ialah:

Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam kitab “Shahih-nya” (Al-Adzan, 707): “Bab Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri”: ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami, dari Malik, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Dahulu kaum muslimin diperintahkan agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya ketika shalat.” Berkata Abu Hazim: “Aku tidak mengetahuinya melainkan dia menyandarkan perintah itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” {demikian yang dimaksud}

Dan telah tsabit dari hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat An-Nasa’i dengan isnad yang shahih: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau menggenggam tangan kiri dengan tangan kanannya.” [Muslim (401), An-Nasa’i (887) dan Abu Dawud (726)]

by Fadhl Ihsan|
Silakan lihat penjelasan kedua hadits di atas pada sumber tulisan.

Sumber: Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan Alimuddin), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, Sukoharjo. Hal. 340-347.

Hadits Mengerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud

Pertanyaan Pertama:

Terlihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya?

Jawab :

Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu‘ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Quda mah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.

Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :

Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :

1.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.

2.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.

3.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.

Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa‘idy, Wa`il bin Hujr, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya. Maka yang perlu dibahas di sini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).

Hadits-Hadits yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali. Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

Hadits Pertama

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا

Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.

Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut::

Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.•

Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). •

Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).•

‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).• ‘

Abdullah bin Zubair. Sahabat.

Derajat Hadits

Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.

Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :

• Pertama: Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.

• Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah

رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ

Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.

Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.

Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajl an karena beberapa perkara :

1.Muhammad bin ‘Ajl an walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.

2.Riwayat Muhammad bin ‘Ajl an juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .

3.Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajl an dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :

a.Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.

b.Abu Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.

c.Yahya bin Sa’id Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.

d.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.

e.Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

4.Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘ Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut.

Tiga orang ini adalah :

a.‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Aw anah 2/241 dan 246.

b.Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.

c.Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.

Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajl an. Wallahu A’lam.

Hadits Yang Kedua

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengerjakannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.

Derajat Hadits

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid.

Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar.

Tujuh rawi tersebut adalah :

1.Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.

2.Isma‘il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3.Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4.Yahya bin Sa’ id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5.Wuhaib bin Kh alid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.6. ‘Abdul ‘Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

7.Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.

Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :

a.Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .

b.Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-’Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobara ny dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

Kesimpulan: Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah .

Hadits-Hadits yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan

Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا

Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.

“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghda dy dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syih ab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.

Derajat Hadits

Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.

Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah.

Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) .

Dua puluh dua rawi tersebut adalah:

1.Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu D aud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobara ny 22/37 no.86.

2.Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobar any 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.

3.Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nas ai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

4.Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobar any 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.

5.‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu M ajah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.

6.‘Abdul Wa hid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.

7.Zuhair bin Mu’ awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.

8.Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahh an, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.

9.Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.

10.Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoy alisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.

11.Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.

12.Ghailan bin J ami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.

13.Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/33 no.79.

14.Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.

15.‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobar any 22/37 no.87.

16.Musa bin Abi ‘ Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.

17.Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.

18.Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.

19.‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.

20.Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.

21.‘Abdul ‘Azi z bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.

22.Abu Badr Syuj a‘ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.

Kesimpulan: Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah . Wallahu A’lam.

<<<<Pendapat Para Ulama dalam Masalah Ini>>>>

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :

Pertama: Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.

Kedua: Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.

Ketiga:

Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany – rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak. Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.

“Namun, dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah.”

Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau.

Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz … (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berIsyaratt” itu mempunyai dua kemungkinan:

Pertama: Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.

Kedua: Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.

Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :

Pertama: Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan bahwa Ash Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah), maksudnya adalah tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.

Kedua: Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :

إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan

Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang shohih.

Kesimpulan: Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.

Lihat pembahasan di atas dalam :• Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah , Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160. • Madzhab Hanafiyah lihat dalam: Kifayah Ath-Tholib 1/357.• Madzhab Malikiyah: Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.• Madzhab Syafiiyyah dalam: Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu‘ 3/416-417, Al-Iqna‘ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muht aj 1/173.• Madzhab Hambaliyah lihat dalam: Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu‘ 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qon a 1/356-357.

Pertanyaan Kedua:

Dikalangan masyarakat ada sebagian orang yang berisyarat dengan jari telunjuknya pada saat duduk antara dua sujud sebagaimana berisyarat dengan jari telunjuk pada saat tasyahud, apakah hal tersebut ada tuntunan dalilnya dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam ?.

Jawab:

Ada hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, yaitu hadits Wa`il bin Hujr yang berbunyi :“Saya melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam takbir lalu beliau mengangkat tangannya ketika takbir, yakni beliau memulai sholat dan beliau mengangkat kedua tangannya ketika beliau takbir dan mengangkat kedua tangannya ketika beliau ruku’ dan mengangkat tangannya ketika beliau berkata : “Samiallahu liman hamidah” dan beliau sujud kemudian meletakkan tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau kemudian beliau sujud … kemudian beliau duduk membaringkan kaki kirinya kemudian beliau meletakkan kedua tangannya, yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah kemudian beliau menggenggam seluruh jari-jarinya kemudian beliau sujud …”.

Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Razza q dalam Al-Mushonnaf 2/68 no.2522, Ahmad dalam Musnad nya 4/317 dan lafadz di atas adalah lafadz beliau, Ath-Thobarany 22/34 no.81 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/429-430. Semua meriwayatkan dari ‘Abdur Razzaq dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Hadits ini merupakan kunci penyelesaian dalam permasalahan ini, apabila hadits ini shohih (bisa diterima) maka berisyarat dengan telunjuk dalam duduk antara dua sujud adalah perkara yang disyariatkan tapi sebaliknya bila hadits ini lemah maka artinya perkara tersebut tidaklah disyariatkan, karena itulah kami mengajak untuk melihat derajat hadits ini.

Derajat Hadits Berisyarat Saat Duduk Diantara Dua Sujud

Telah dijelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ‘ Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib ada 23 orang rawi dimana 23 orang rawi ini sepakat menyebutkan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam berisyarat dengan jari telunjuknya, akan tetapi ada tiga bentuk riwayat yang menjelaskan tempat berisyarat dengan telunjuk pada riwayat mereka :

1.Ada riwayat yang menjelaskan bahwa tempat berisyarat hanya ketika tasyahud dan hal ini tersebut dalam riwayat Musa bin Abi Kats ir dan sebagian riwayat Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu ‘Uyainah dan ‘Abdullah bin Idris.

2.Riwayat yang tidak menjelaskan dimana letak berisyarat dengan telunjuk tersebut tapi Zhohirnya hal tersebut dalam tasyahud. Bisa dilihat dalam riwayat Bisyr bin Mufadhdhal, Sufy an Ats-Tsaury, ‘Abdul Wahid bin Ziyad, Zuhair bin Mu’awiyah, Khalid bin ‘Abdullah Ath-Thahhan, Muhammad bin Fudhail, Sallam bin Sulaim, Abu ‘Awanah, Ghailan bin J ami’, Qois bin Rabi’, Musa bin Abi Katsir.

3.Dua riwayat di atas diselisihi oleh ‘Abdur Razzaq dalam periwayatannya dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr kemudian menyebutkan isyarat dengan jari telunjuk pada duduk antara dua sujud.

Dari uraian di atas sangat jelas bahwa riwayat ‘Abdur Razz aq dari Sufyan Ats-Tsaury yang menjelaskan bentuk ketiga. Telah meyelisihi riwayat 22 orang rawi yang menjelaskan bentuk pertama maupun kedua. Maka bisa dipastikan bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq terdapat kesalahan yang menyebabkan penyebutan berisyarat dengan telunjuk ketika duduk antara dua sujud dianggap syadz, sehingga riwayat ini tidak bisa diterima. Kesalahan yang terjadi dalam hadits ini mungkin berasal dari Sufyan Ats-Tsaury dan mungkin dari ‘Abdur Razzaq.

Akan tetapi, meletakkan kesalahan pada ‘Abdur Razzaq adalah lebih beralasan karena dua hal :

Pertama: ‘Abdur Razz aq walaupun seorang rawi tsiqoh (terpercaya) dan hafidz (seorang penghafal), tetapi beliau mempunyai awham (kesalahan-kesalahan) yang menyebabkan sebagian para ulama mengkritik beliau.

Kedua: ‘Abdur Razzaq telah menyelisihi dua rawi dari Sufyan Ats-Tsaury yang kedua rawi meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury dan menyebutkan isyarat pada duduk antara dua sujud.

Dua rawi tersebut adalah :

1.Muhammad bin Yusuf Al-Firy aby, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no. 1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

2.‘Abdullah bin Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318.

Riwayat dua orang rawi ini khususnya Al-Firy aby yang termasuk orang yang paling hafal riwayat-riwayat Sufyan Ats-Tsaury, semakin menguatkan bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq adalah riwayat syadz. Maka jelaslah lemahnya riwayat ini yang dijadikan sebagai dalil disyariatkannya berisyarat dengan telunjuk pada duduk antara dua sujud. Karena itulah riwayat ini telah dilemahkan oleh dua orang ulama besar ahli hadits zaman ini yaitu Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dan Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullahu ta’ala-.

Kesimpulan : Tidak disyariatkan mengangkat telunjuk pada saat duduk antara dua sujud karena hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits syadz (lemah).

Lihat : Al-Bisyarah hal.75-77 dan Tamamul Minnah hal.214-216.

Pertanyaan Ketiga :

Apakah ada tuntunan dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam ketentuan bahwa ketika disebutkan(), jari telunjuk mulai diangkat pada ucapan () (tepatnya di ucapan huruf hamzah) ?.

Jawab:

Madzhab kebanyakan orang-orang Syafiiyyah menyatakan bahwa disunnahkan berisyarat dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari telunjuk tersebut ketika mencapai kata hamzah) dari kalimat (). Hal ini disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu‘ 3/434 dan dalam Minhaj Ath-Tholibin hal.12.Dan hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon’ any dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau tambahkan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy. Namun tidak ada keraguan bahwa yang disyariatkan dalam hal ini adalah mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud hingga akhir. Hal ini berdasarkan hadits-hadits shohih yang sangat banyak jumlahnya yang telah tersebut sebagiannya pada jawaban pertanyaan no.1 yang menjelaskan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam ketika duduk tasyahud beliau menggenggam jari-jari beliau lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya, maka dzohir hadits ini menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud sampai akhir.

Adapun bantahan terahadap madzhab orang-orang Syafiiyyah maka jawabannya adalah sebagai berikut :

1.Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy itu adalah hadits Khaf af bin Ima‘ dan di dalam sanadnya ada seorang lelaki yang tidak dikenal maka ini secara otomatis menyebabkan hadits ini lemah.

2.Hal yang telah disebutkan bahwa dzohir hadits-hadits yang shohih menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam mengangkat jari telunjuk dari awal hingga akhir menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya riwayat Al-Baihaqy tersebut.

3.Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah () dari kalimat (), karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu‘ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.

4.Hal yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak disebutkan di dalam madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang dipakai oleh para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.

Kesimpulan:

Jadi, yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah () dari kalimat () . Wallahu A’lam..

+ Catatan kesimpulan diatas:

Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Menyelisihi dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) .

Dari Uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za’idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharrikuha (digerak-gerakan) adalah SYADZ.

Kesimpulan 1: Penyebutan lafadz yuharrikuha (Jari telunjuk digerak-gerakan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah LEMAH tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.

Kesimpulan 2: Tersimpul dari pembahasan diatas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah TIDAK DIGERAK-GERAKAN. Wallahu A’lam.

Diikutip dari blog akh antosalafy: http://antosalafy.wordpress.com dinukil dari http://www.an-nashihah.com, Penulis : Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain, Judul asli: Kedudukan Hadits Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, dengan sedikit tambahan kesimpulan.

Duhai saudara-saudariku tercinta yang dimuliakan oleh Allah ta’ala…

Islam merupakan dien yang damai dan pembawa keselamatan bagi umat manusia. Mengucapkan salam adalah adab dalam pergaulan sesama muslim dan menjadi salah satu identitas ke-Islaman seseorang sebagaimana yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Baginda Rasulullah tercinta, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Salam adalah ungkapan pengharapan dan do’a seseorang akan keselamatan, kedamaian, rahmat, dan berkah dari Allah ta’ala kepada saudara-saudari rahimakumullah. Dengan menyebarkan salam, akan terpancar keindahan dan perdamaian dalam Islam.

Selain itu, setiap muslim juga diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk menjaga dan menghormati hak-hak sesama. Oleh karena itu, Islam mewajibkan kepada pemeluknya agar selalu meminta izin terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan hak orang lain. Dengan memegang adab-adab izin ini, kehormatan, rasa cinta, dan keharmonisan dalam pergaulan akan senantiasa terpelihara.

Berkenaan dengan SALAM, Islam telah mengatur segala sesuatunya dengan begitu indah namun tegas. Maka dienul Islam pun memerintahkan kita agar tidak mengucapkan atau pun menjawab salam kepada bagi orang kafir.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian mengawali ucapan salam kepada kaum Yahudi dan Nasrani …” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Namun sebaliknya, hamba yang shalih selalu bergegas dalam menjawab ucapan salam yang disampaikan oleh orang muslim, entah dia kenal atau tidak kenal (tapi tentu tahu bahwa dia adalah seorang Muslim). Sebab salam merupakan salah satu di antara Nama Allah. Salam berarti keamanan dan ketentraman.

Allah ta’ala berfirman, “Apakah kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa!” (QS. An-Nisa’ {4}: 86).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal, bahwa Rasulullah saw bersabda, “…Sedangkan manusia yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk (memberi atau membalas) salam.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad jayyid).

Hamba yang shalih, tentu selalu memberi salam kepada saudaranya jika dia bertemu dengannya sambil tersenyum kepadanya, dan juga selalu menjawab salam. Jika dua orang muslim melakukan hal seperti itu, maka insyaAllah berguguranlah kesalahan (dosa) keduanya, seperti gugurnya dedaunan di musim kemarau jika mongering.

Saudara-saudariku tersayang rahimakumullah…

Hendaknya kita tidak mengganti salam dengan isyarat tangan atau model-model sapaan yang sering dibudayakan oleh orang-orang kafir. Diriwayatkan dari Anru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Bukan menjadi bagian kami, orang yang meniru-niru selain kami. Janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani, karena salamnya kaum Yahudi adalah isyarat dengan jari. Sedangkan salamnya kaum Nasrani adalah isyarat dengan telapak tangan.” (HR. At-Tirmidzi).

Masih berkenaan dengan salam, maka dienul menyatakan tidak mengucapkan maupun menjawab salam orang yang sedang buang ari kecil/besar.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa pernah ada seseorang yang mengucapkan salam kepada Rasulullah saw ketika Beliau sedang buang air kecil, dan Beliau tidak menjawab salam yang diucapkan oleh orang tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).

Selanjutnya merupakan hal terpenting dalam pengucapan salam, namun sepertinya masih sangat banyak KEKELIRUAN fatal yang kita dengar atau dapati setiap harinya. Sesungguhnya memulai salam itu adalah dengan ucapan, “ASSALAMU’ALAYKUM; BUKAN di tulis/di ucapkan dengan ASS atau SALAM, seperti kecenderungan kaum JIL yang tidak pernah mengucapkan ‘assalamu’alaykum’. Begitu juga assalamu’alaykum BUKAN diucapkan dengan LAMLEKUM, SLAMLEKUM, atau KUM, naudzubillah!

At-Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan dari Jabir bin Sulaim, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah engkau mengucapkan ‘alaikus-salam’, karena alaikus-salam adalah salam penghormatan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Tapi, ucapkanlah ‘as-salamu ‘alaik’.”

Keterangan : As-salamu ‘alaik adalah dalam bentuk sapaan tunggal, namun untuk jamak berubah menjadi as-salamu ‘alaikum.

Saudara-saudariku kekasih Rasulullah yang kucintai lillahi ta’ala…

Di atas Jean juga menyertakan ketentuan bahwa setiap muslim diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk menjaga dan menghormati hak-hak sesame (IZIN). Berkenaan dengan izin ini, insyaAllah terdapat 2 prinsip yang perlu kita perhatikan dengan sebenar-benarnya;

1. Tidak melihat ke dalam rumah orang lain tanpa izin. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melihat (mengintip) isi rumah suatu kaum tanpa mendapatkan izin dari mereka, maka halal bagi mereka untuk mencukil matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat An-Nasi’i disebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa melihat ke dalam sisi rumah suatu kaum tanpa mendapatkan izin dari mereka, maka cukillah matanya, tanpa ada diyat atau qishash.”

2. Tidak menguping pembicaraan orang. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, “…Barangsiapa menguping pembicaraan suatu kaum, sedangkan mereka tidak ingin hal itu terdengar orang lain, maka akan dituangkan pada kedua telinga orang tersebut lelehan timah pada hari kiamat …” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian telah Jean sampaikan penjelasan secara singkat perihal adab mengucapkan salam dan perkara izin, berikut dalil-dalilnya. Semoga bermanfaat…

Barakallahu fiikum,
Wassalamu’alaykum wr.wb.
~∂eanny♥divΞ

Raih amal shalih, sebarkan informasi ini…
Source: http://arrahmah.com

Tahlilan…apa tuh??

Posted: 6 Desember 2010 in Uncategorized

Itu secara umum diartikan berkumpul untuk berdo’a/berdzikir, dan sebagian bacaannya adalah bacaan Tahlil, kalimat paling bagus , yaitu bacaan LAA ILAHA ILALLOH . Membaca Dzikir atau tahlil, sangat dianjurkan oleh Syari’at Islam. Semua orang Islam, sudah selayaknya menyukai berdzikir dan berdo’A karena merupakan perintah yang ada pada Al Qur’an dan  Sunnah  Nabi SAW. Hal ini bisa dilakukan kapan saja. Apakah ada kematian atau lebih lebih ketika ada yang meninggal, karena amal orang yang meninggal itu sudah terputus kecuali tiga perkara, yaitu Amal jariah dishodaqohkan yang bermanfaat, Ilmu yang bermanfaat, dan Anak sholeh/sholehah yang mendo’akan, hal ini Om Al Fatih tahu  haditsnya kan ? Nah, kita mendo’akan atau tahlilan itu, bisa menjadi bagian dari yangtiga tadi, karena amal si mati, kita kenal, maka kita mendo’akannya. Alangkah kasihannya saudara kita yang sudah meninggal jika kita tidak mau mendo’akannya ketika dia sudah meninggal, padahal ada ayat Alloh yang bisa kita rujuk akan hal ini. Dzikir/Do’a/Tahlil yang kita baca ini sangat ditunggu olehmereka yang sudah meninggal ini dialam kuburnya. Berikut ini rujukan tentang dzikir/berdo’a , lalu soaltahlilan   kematian.

QS.Al Baqoroh, ayat  152 : ” Karena itu, dzikirlah ( ingatlah ) kamu kepada-Kuniscaya Aku ingat  (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.” QS Tho-ha ayat 124 :  ” Dan barangsiapa Tidak Dzikir pada(berpaling dari> peringatan-)Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan  Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta“. Juga banyak hadits Nabi SAW tentang kebaikkan berdzikir danberdo’a. Jumhur Ulama tentang Tahlil untuk kematian. Mayoritas Ulama Ahlu Sunnah wal-jamaah berpendapat bahwa boleh mengadakan Dzikir dan Do’a bersama guna mendo’akan (menghadiahkan pahalanya) untuk orang yang sudah meninggal tersebut. Pendapat ini berdasarkan Nash sebagai berikut : QS Muhammad ayat 19 : 019. Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan, yang hidup maupun yang telah meninggal. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha,dan tempat tinggalmu.

QS Al Hasyr, ayat 10 : ” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin danAnshar),mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara- saudara kami yang telah mendahului kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya  Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. Hadits Nabi SAW, ” Tidak ada seseorang yang dishalatkan jenazahnya oleh sejumlah orang Islam yang jumlahnya 100 orang dan semuanya memohonkan syafaat kepadanya melainkan Alloh mensyafaatinya ( HR. Muslim )  Hadits tentang wasiat Ibnu Umar pada Syarah Aqidah Thahawiyah (hal. 458) : “Dari Ibnu Umar RA: Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal Al Baqoroh dan akhirnya. Dan dari sebagian Muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat Al baqoroh” Nah, soal makanan yang dibagikan, itu tradisi masing-masing tempat berbeda, kalau ditempat saya tidak ada. Ketika tahlilansampai 7 hari, tidak ada bagi-bagi berkat, kalaupun ada makanan, itu adalah disediakan oleh Perkumpulan Kematian di Lingkungan kami, jadi tidak membebani yang sedang berduka. Kalau di lingkungan Om Fatih seperti yang Om sebutkan, ya diajak omong saja, sampaikan yang lebih baik untuk dilakukan, dengan cara santun dan baik, faa insya Alloh akan di ikuti. Saya ikut ngedo’ain ya om. Soal waktu, apakah 3 hari, 7 hari, dan sebagainya, lho…..apa Alloh membatasi kita kapan tidak boleh berdo’a atau berdzikir ? Bukankah kita diperintahkan berdzikir setiap waktu, dengan sebanyak- banyaknya ? Nah, jika ada yang melakukan yang 3 hari, 7 hari, itu kan bagian dari yang setiap waktu. Jikapun kita lakukan waktu tertentu, ini kan sesuai QS Al Asr’  ayat 1: ” Ingatlah Waktu “. Alloh yang memerintahkan kita untuk ingat waktu. Penulis :  Hamba Allah (NN)